DI BANDUNG sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana.
Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan
studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi.
Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya
dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD,
kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya.
Selain
distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang
rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel
"Masaindahbangetsekalipisan." Band-band indie yang ikut serta di
kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To
The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal
Jakarta.
Band-band
yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan
Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia
yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka
yang bertitel "Four Through The S.A.P" ludes terjual 5000 kaset dalam
waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album
PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah
Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya.
Tragisnya,
di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna
Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut
Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang
diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk
pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga
akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup
E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure
Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu
promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan
cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.
Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana,
komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio
Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam
Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic
Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada
awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia
yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic
Torment yang memiliki single unik berjudul "Golok Berbicara". Revograms
Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya
membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.
Kemudian
taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas
dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul
sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung
dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple
berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara
fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis.
Serunya
di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie
popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau
alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang
terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang
sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin
Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.
Siapapun
yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan
melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah
air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh
daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis' di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung
paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show
fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung
Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong
spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai
diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin
ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di
Indonesia untuk ukuran rock show underground.
Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini.
Belum
lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi
Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar
liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony,
The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star,
Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star
(www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya
Sumber : MUSIK UNDERGROUND
0 komentar:
Posting Komentar