Beberapa alien tiba sebagai penumpang gelap. Yang lainnya dibawa secara sengaja, untuk hobi ataupun demi keuntungan. Dan yang lainnya lagi berukuran sangat kecil sampai tidak ada yang menyadari kedatangan mereka hingga semuanya sudah terlambat.
Mereka menjadi mimpi buruk. Mereka membunuh dan melahap penghuni asli, mencuri rumah mereka, menulari mereka dengan patogen. Apakah ini film fiksi ilmiah? Bukan: invasi alien kini benar-benar tengah terjadi.
Hal ini bisa terjadi di kebun Anda. Di hutan tempat Anda ingin merasa menyatu dengan alam. Hal ini hampir pasti terjadi di peternakan yang memproduksi makanan Anda.
Inilah kisah spesies yang dibawa manusia ke habitat yang baru hingga mereka menyebar tak terkendali, mengusir satwa liar endemik dan menjadi hama utama.
"Spesies yang menginvasi tersebut memiliki dampak besar di seluruh dunia. Di beberapa negara, bahkan mengakibatkan ongkos sangat tinggi," kata Dave Richardson, direktur Centre of Excellence for Invasion Biology di University of Stellenbosch, Afrika Selatan.
International Union for Conservation of Nature (IUCN), mengadakan sebuah konferensi di Korea Selatan pada bulan depan, dan mengatakan bahwa penebangan liar adalah sumber terbesar ketiga dari ancaman spesies.
Seperti contohnya tupai abu-abu Amerika yang menggusur tupai merah Inggris. Atau ular piton Burma, yang sering memangsa mamalia kecil di Everglades, Florida.
Spesies yang menginvasi menimbulkan kerugian lebih dari $ 1,4 triliun (sekitar Rp 13,4 kuadriliun) setiap tahun, atau lima persen dari PDB negara di seluruh dunia, seperti pada perkiraan yang dibuat 11 tahun yang lalu.
"Angka-angka tersebut kontroversial karena sulit untuk menempatkan angka pasti untuk hal-hal seperti ini," kata Tim Blackburn, direktur Institute of Zoology di Zoological Society of London.
"Tapi dampak tersebut luas dan memengaruhi begitu banyak aspek kehidupan. Biaya tersebut berpotensi untuk meningkat saat kita memindahkan spesies lebih banyak lagi ke daerah yang bukan habitatnya."
Kebanyakan kerugian timbul secara tidak langsung. Misalnya, petani AS menggunakan banyak pestisida untuk mengendalikan gulma, sementara di Eropa tengah, lahan mereka dipenuhi hogweed raksasa atau semak Asia beracun.
Contoh lain adalah kelinci Eropa, yang awalnya dijadikan sebagai makanan oleh pemukim Inggris di Australia dan Selandia Baru namun kemudian dibenci karena menginvasi padang rumput dan tanaman.
Di Amerika Serikat bagian selatan, ikan gurame Asia diimpor pada 1970-an untuk membantu membersihkan ganggang di kolam lele komersial. Banjir kemudian membawa ikan gurame tersebut ke dalam ekosistem Sungai Mississippi, dan kini mereka mengancam pemancingan untuk hobi dan komersial di Great Lakes.
Spesies yang menginvasi telah mengikuti manusia ke seluruh wilayah yang baru mereka tempati.
Orang-orang Polinesia menyapu bersih spesies burung yang tak terhitung jumlahnya saat mereka berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya melintasi Pasifik selama delapan abad, membawa pergi tikus jauh dari tempat asalnya dengan kano mereka.
Tren itu berkembang pesat pada awal hingga pertengahan abad ke-19.
Spesies Eropa yang dikirim ke koloni di Afrika dan Australasia sebagai makanan atau untuk hewan peliharaan, dan binatang eksotis dibawa kembali ke Eropa.
"Ada perkembangan besar dari 'aklimatisasi masyarakat ', yang secara khusus dibentuk untuk memperkenalkan spesies baru ke seluruh dunia," kata Blackburn.
"Bahkan Zoological Society of London, organisasi tempat saya bekerja, membayangkan sebuah zaman keemasan saat kita akan melihat kawanan banteng Afrika yang berkeliaran di selatan Inggris."
Perjalanan yang kini lebih cepat — dengan kapal laut atau pesawat jet — dapat mempercepat masalah karena maraknya perdagangan spesies global.
Sakit kepala yang ditimbulkan oleh kerang zebra, yang telah memenuhi saluran air di AS setelah perjalanan panjangnya dari Eropa. Contoh lain adalah tungau verroa, yang dilaporkan di negara-negara di tiga benua, yang memusnahkan lebah madu yang banyak membantu dalam penyerbukan tanaman.
Bahkan jamur chytrid yang berukuran mini yang menyebar bersama amfibi liar melalui penjualan katak peliharaan dan katak untuk dikonsumsi. Saat populasi katak menurun, populasi serangga pun meningkat — lagi-lagi kerugian secara tidak langsung.
Di banyak negara, pengawasan perbatasan nasional sering lemah dan hukum penuh dengan celah karena kepentingan sekelompok orang yang memperdagangkan spesies dari daerah lain, kata Richardson.
Dia mengatakan bahwa tidak ada tempat mana pun yang benar-benar menerapkan prinsip “biaya polutan”, yang mana seseorang yang menyebabkan timbulnya hama harus membayar untuk menyingkirkan hama tersebut.
Sementara kerja sama internasional, kini telah ada kemajuan — misalnya, dalam konvensi laut yang mewajibkan kapal mengganti pemberat mereka di tengah laut.
Tapi "dalam banyak kasus, perjanjian dan konvensi tidak memiliki kekuatan lagi," kata Richardson.
Pemberantasan ancaman tersebut sangatlah mahal dan sering kali tidak mungkin dilakukan, karena memerlukan banyak tenaga kerja, kadang-kadang berlangsung selama bertahun-tahun. Memperkenalkan hewan predator atau serangga untuk menyerang hewan asing itu terkadang malah membuat keadaan semakin buruk.
Jean-Philippe Siblet, direktur Natural Heritage di Museum of Natural History Prancis, mengatakan bahwa pemberantasan harus dilakukan dengan “cerdas”.
Pemerhati lingkungan harus dapat membedakan antara spesies mana yang berguna, yang diperkenalkan dan yang akan menjadi masalah.
"Ini adalah globalisasi alam, dan kita akan sangat sulit menghentikannya," katanya.
sumber : Yahoo! News | AFP
0 komentar:
Posting Komentar